Minggu, 18 Juli 2010

Cerita ini merupakan cerita sambung-menyambung oleh para Sohiberz Bridge tentang "Kisah Seorang Pemuda Indonesia di Negeri Kangguru". Silakan kunjungi untuk cerita-cerita yang lain. Selamat membaca.

CREME CHEESE AND CHOCO MACCHIATO


Suatu sore di musim gugur ketika aku sedang duduk dengan sebuah diktat berhalaman sekitar 150-an dan seperangkat pemutar MP3 tepat terpasang di telingaku, di tengah taman tepat di depan flat tempat aku tinggal. Daun-daun mulai gugur satu persatu. Terasa hawa sejuk musim dingin masih menyelubungi musim gugur ini.

“Saudi, cepat naik! Tetangga kita yang menyebalkan itu sedang menunggumu di depan kamarmu.” Teriak Marick dari teras atas di lantai kamar flatku.

“Ya, aku segera ke sana.”

Namaku Saudi Amira, seorang pemuda Indonesia yang kini tengah “terdampar” di sebuah negara yang dikenal dengan sebutan negeri kangguru. Australia. Tepatnya di Perth. Aku tinggal di sebuah flat termurah yang pernah aku tahu di kawasan ini.

Tetangga sebelahku, Marick Morocco, pemuda asli Maroko yang juga sama denganku bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang tidak begitu tenar, namun sudah mampu berdiri sejajar dengan tujuh perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama.

Aku sudah dua tahun berada di Perth setelah lulus di bidang periklanan di sebuah universitas terkemuka di Australia, setelah sebelumnya menjadi mahasiswa pertukaran pada saat di Indonesia.

“Saudi, Nyonya Ginger Crown, si “mulut pedas” ingin berbicara denganmu.” Sapa Marick ketika aku tiba di lantai tempat flatku berada.

Ok. Thank you, Marick. Everything will be alright.¹” Upayaku untuk membuat Marick lebih tenang dan juga aku.

Nyonya Ginger sedang berjalan ke arahku.

“Hai Indonesia, mengapa benda ini ada di depan pintu masuk flatku?

__________________________

1 (En.) Ok, Terima kasih, Marick. Segalanya akan baik-baik saja.


Nyonya Crown memegang sebuah paket berbungkus kertas berwarna hitam, bentuknya kira-kira sebesar kamus Oxford, bungkusannya sangat rapi, bahkan lebih terlihat seperti kado yg aneh.. Ya, bagaimana mungkin ada orang yang memberikan kado atau bingkisan untuknya dengan berbungkus kertas hitam, setidaknya mereka akan memilih warna-warna cerah sebagai pilihan.

"Lagi?" Kataku bingung.

"Ya! Lagi... dan lagi... Ini sudah kelima kalinya bingkisan hitam tolol bertuliskan "To: Mr. Saudi Amira" tergeletak di depan pintuku." Nyonya Crown kini berteriak-teriak seperti terompet tua yang rusak.

"Saya benar-benar..." Aku menyela.

"Aku peringatkan padamu!!! Beritahu alamat lengkapmu yang jelas pada teman-temanmu yang tolol supaya mereka bisa mengantar bingkisan halloween²-mu tepat pada tujuan, karena 31 Oktober sudah lewat dari sebulan yang lalu, Anak Ingusan!" Dia memotong pembicaraanku, dan sekarang dia berteriak lebih keras dan parau.

Dia benar-benar sinting. Si tua Crown yang kesepian dan malang semakin hari semakin menunjukkan kegilaannya sejak kematian cucu tunggalnya Abigeill tiga bulan yang lalu akibat kanker otak, satu-satunya keluarga yang masih bersamanya.

Abigeill, gadis cantik 17 tahun berkulit putih bersih, bibir tipis jingga kemerahan, bulu mata lentik dengan bola mata berwarna biru aquamarine, pipi merona merah muda, rambut blonde keriting... Nyaris sempurna dia terlihat seperti boneka porselen Victoria.

Tak hanya parasnya, tetapi sikapnya yg ramah dan santun kepadaku membuatku... Well, terus terang aku nyaris saja naksir dengannya. Hanya sangat disayangkan darah Israel mengalir di darahnya. Ayahnya seorang Israel. Dan aku benci Israel.

Sudahlah, semua sudah berlalu. Masalahku sekarang adalah bagaimana aku harus mengusir penyihir tua ini kembali ke sarangnya!

"Hentikan jeritanmu Crown! Berikan paket itu dan pergilah!" Marick tadinya di belakangku kini berdiri tepat sampingku.

"Oh... Jadi ini etikamu berterima kasih kepada orang tua yang telah mengantarkan paket yang sesat milik temanmu ini, anak muda?" Nyonya Crown berbicara dengan wajah mencela.

"Bukan begitu maksud kami Nyonya Crown. Kami hanya..." Aku mencoba menenangkan keduanya. Tapi belum aku menghabiskan kata- kataku, wanita berumur 75 tahun itu langsung melempar paket berbungkus hitam ditangannya.

Celakanya, paket itu mengarah tepat di wajahku!

____________________________________
2 (En.) Pesta kostum hantu


Buk.

Terdengar suara benda bertabrakan. Paket berbungkus hitam itu mengenai seluruh permukaan wajahku. Sesaat aku pusing dan akhirnya aku terjatuh. Aku masih mendengar teriakan, kemarahan, dan ketakutan yang semakin lama semakin memudar hingga aku benar-benar pingsan.

***

“Hai Saudi... Kamu baik-baik saja?”

Aku melihat sosok seseorang yang aku yakin mengenalnya, tetapi entah sudah berapa lama. Aku yakin dia. Sosok itu datang dari sumber cahaya terang di depanku.

“Ya... Hai Abigeill. Sedang apa kamu di sini? Bukankah...”

“Begitulah. Aku memang sudah mati. Namun jiwaku masih hidup.”

“Aku di mana?”

Aku melihat ke arah sekitarku.

“Apakah aku sudah mati?” tanyaku pada Abigeill.

“Belum. Kamu hanya berada di dalam keadaan tidak sadarmu. Aku datang hanya ingin menemuimu. Aku ingin menemanimu.” kata Abigeill penuh keramahan.

Aku masih diselimuti kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Seluruh ruangan tampak terang dari cahaya putih yang benar-benar menyelubungi. Sulit sekali melihat dinding atau benda apa pun. Yang ada hanya aku dan Abigeill yang mengenakan pakaian serba putih.

“Apakah ini surga?” tanyaku.

“Menurutmu? Bukan, seperti yang telah aku katakan sebelumnya. Ini hanya keadaan di bawah kesadaranmu. Seluruh sugesti, baik positif maupun negatif akan sangat mudah mempengaruhi hidupmu.”

“Apakah aku dapat kembali ke duniaku? Maksudku, apakah aku dapat kembali pada keadaan dalam kesadaranku? Aku tidak ingin Marick mengkhawatirkanku.”

“Percayalah. Bangun kekuatan jiwamu untuk dapat kembali ke duniamu. Dunia tempat yang pernah aku singgahi.”

“Baiklah. Aku percaya. Aku akan berusaha meyakinkan diriku.”

“Sebagai tanda pertemanan kita, tolong berikan ini pada nenekku. Katakan bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada lagi rasa sakit akibat kanker yang menggerogoti otakku.”

Aku tersenyum. Ada sebuah kekuatan yang dahsyat yang mengirimku kembali ke dalam keadaan kesadaranku. Aku lihat sebuah cahaya putih yang berasal dari pijaran lampu neon. Keyakinanku berkata bahwa aku sudah kembali.

“Saudi, kau baik-baik saja? Aku khawatir sekali pada keadaanmu. Ini semua gara-gara nenek sialan itu. Andai saja...” Marick meracau tak karuan melihat aku sadar.

“Tak apa. Aku baik-baik saja. Aku di mana?”

“Di rumah sakit. Tenang saja, semua biaya sudah aku selesaikan. Yah, paling tidak si Nyonya Crown ikut bertanggung jawab.”

“Oh ya. Di mana Nyonya Crown? Ada yang ingin aku sampaikan.”

Marick terdiam sesaat lalu ia berkata,

“Kurasa, Nyonya Crown sedang di dalam flatnya, menyendiri menyesali perbuatannya kepadamu.”

Aku hanya terdiam. Sedikit lengkungan bibir tanda aku juga tidak menyalahkan Nyonya Crown.

---[Robby Andri]---

Hidup memang tidak seperti yang di bayangkan, perumpamaan tua yang selalu mengema dalam benak setiap manusia yang berteman dengan susahnya hidup.

Nyonya Crown duduk di kursi kesayangannya, memang wajah penyesalan yang dipaparkan Marick tidak pernah ada dalam wajah orang tua itu yang gila dan sendiri hanya ditemani kursi tua kesayangannya semenjak buah hati (cucu) nya si cantik Abigeill pergi meninggal. Terkadang suka tersenyum sendiri di luar kewarasannya dan marah di luar batasnya walaupun hanya masalah sepele.

Perawat cantik seusia mereka masuk ,tidak seperti umumnya. Gadis itu mengunakan pakaian sopan khas rumah sakit Islam slam itu dengan baju terusan putih, jilbab putih, wajah dengan paras khas Timur Tengah alami keturunan Persia-Libya.

"Subhanallah³... Beautiful.⁴" ujar Marick.

"Udah biasa aja kali." ujar Saudi yang terkadang Indo gaul keluar gitu aja walaupun sudah bertahun-tahun di Australia..

Gadis itu datang untuk memeriksa saudi yang kesekian kalinya... dan mengizinkan Saudi untuk segera pulang dengan beberapa obat jalan.

Perjalanan menuju pulang yang berjarak 80 km dari flat tempat tinggal tua rumah mereka. Taksi yang melaju kncang itu tiba menghampiri dan menawarkan untuk mengantarkan mereka. Tawa-menawar harga dilakukan Saudi yang selalu memaksa mengurangi harga dalam jual beli apapun walaupun itu manyngkut jasa susah lelah orang lain bahkan memaksa si supir taksi bahkan harus memotong keuntungan dan kurang dari harga biasa. Akhirnya pemuda ramah itu pun mengalah dan mereka pun masuk ke dalam taksi.

Marick bergumam dengan berbisik, "Saudi, kenapa kita tidak lebihkan sedikit buat saudara kita hitung mambantu orang lain."

Saudi membalas, "Saudara dari mana? Sok tau. Diakan cuma supir taksi."

"Tuh lihat di kepalanya!" lanjut Marick.

Terlihat lobe putih petak-petak hitam, sejenis topi khas muslim yang dipakai pemuda ramah tersebut.

"Yup,that's right.⁵"ucap Saudi sambil tersenyum malu.

"Hmmm, makanya jangan kepikiran yang lain. Yang udah pergi dan berlalu, ya harus dilupakan kan. Walaupun tidak harus dibuang kenangannya.

" Iya, sorry.⁶" Saudi mengaku salah pada Marick.

Tiba-tiba Saudi bernada agak keras kepada si supir taksi, "Bro, sorry ya tadi kala saya terlalu memaksa harga."

Pemuda itu menjawab, "Oh... Tadi itu tidak apa-apa. Saya sudah biasa kok"

Tegur sapa pun terjadi dan terjalinlah silaturrahim yang jarang terjadi ini. Hubungan yang baik terjalin antara seorang supir taksi pemalu ramah bersama dua orang pemuda sebayanya. Tukar-menukar informasi pun mereka lakukan. Semuanya senang seperti sudah berteman lama.

Pemuda supir taksi itu bernama Yusuf Michel, keturunan Suriah-Australia. Yusuf bekerja untuk menyambung S2-nya.

"Setelah lampu merah itu tolong ke kanan dan tolong masuk kekawasan perumahan itu." ucap Marick.

Sampailah tepat di depan flat tempat tinggal mereka.

____________________________________
3 (Ar.) Maha Suci Allah
4 (En.) Cantiknya
5 (En.) begitulah
6 (En.) maaf


Pintu flat Nyonya Crown terbuka cukup lebar. Aku melihat dengan sekilas ada baying-bayang perempuan muda mengenakan pakaian putih sedang berdiri di belakang kursi goyang kayu milik Nyanya Crown yang menghadap jendela dengan kain gorden yang melambai-lambai mengikuti alunan desir angin siang itu. Lalu aku bertanya pada Marick.

Do you see someone is behind Mrs. Crown⁷?”

What? No, I don’t. What’s going on?⁸” jawab Marick.

Nothing. Never mind!⁹”

Marick tampak kecewa lalu langsung mengantarku ke dalam flatku.

“Ok. Aku mau tanya. Ada apa di kamar si tua cerewet itu? Kamu bilang ada seseorang di belakang kursi kayunya?” tanya Marick.

“Aku seperti melihat seorang gadis yang aku mengenalnya. Seperti… sebentar. Tadi sewaktu aku di rumah sakit, aku bermimpi aneh. Abigeill, kau tau kan. Dia datang ke dalam alam bawah sadarku dan memberikan nasihat yang menyejukkan padaku. Akhirnya sebelum aku bangun, dia menitipkan… ini untuk diberikan pada Nyonya Crown.”

Marick tampak kebingungan. Lalu ia mencoba untuk sedikit santai duduk di sofa empuk di ruang televisi.

Aku melihat Marick sudah cukup santai. Mungkin ini saatnya aku bertanya perihal di taksi tadi.

“Boleh aku tahu, mengapa kamu sangat bersikeras menyuruhku membayar taksi itu dengan harga yang ditawarkan, sedangkan aku biasanya hanya membayar dengan harga sepantasnya?”

‘Karena dia muslim. Dia saudara kita. Bukankah sesama muslim itu bersaudara?”

“Ya. Lalu? Apakah hanya karena dia sama dengan kita lalu kita membantu dia? Bukankah yang didapatkannya sesuai dengan apa yang kupikir benar?”

“Itulah yang membuatmu sering merasa kecewa. Kamu menganggap bahwa membantu orang itu suatu beban, karena kamu hanya berpikir bahwa beban itu hanya kamu yang merasakannya.“

____________________________________
7 Apakah kau lihat seseorang di belakang Nyonya Crown?
8 Apa? Tidak, aku tidak lihat. Ada apa?
9 Tak ada apa-apa. Lupakanlah!


Malam yang sendu dan sepi di kota Goulburn, Australia (Bermil-mil jauhnya dari kediaman Saudi). Kota tua yang penuh dengan daya tarik bangunan classic itu begitu terlihat anggun dan dingin. Tidak begitu banyak orang-orang yang menghabiskan waktu malam mereka di luar. mungkin mereka memilih untuk bersantai di rumah mereka sendiri dari pada menghabiskan waktu di pub atau club-club malam yang sungguh membosankan. Tidak menghibur, tidak mengikuti trend, Minuman-minuman tak bermutu ditambah lagi gadis-gadis kampungan dengan dandanan menor yang sama sekali tidak menarik. Kota itu sungguh membosankan jika tanpa keindahan alamnya, pagar-pagar yang dihiasi mawar dan arsitektur kuno yg bertebaran di penjuru kota.

Seorang wanita berjalan tergesa-gesa menuju Old Goulburn Brewery, adalah sebuah pub yang cukup terkenal di Goulburn. Dengan mantel hitam yang panjang, kaca mata hitam, dan sepatu bot hitamnya dia melangkah begitu cepat sambil merapikan rambut panjang wave-nya yang blond. Ia mendorong pintu pub itu sambil memperhatikan ke dalam, mencari-cari orang yang ingin ditemuinya. Seorang lelaki mengangkat tangannya seolah memberi isyarat keberadaannya di tempat itu. Wanita itu mencopot kacamata hitamnya, ia tersenyum dingin kepada lelaki itu dan berjalan ke arahnya.

"Selamat malam, Anatolly-ku sayang! tak kusangka pesawat jet pribadiku pun bisa membuatmu terlambat" ujar lelaki itu dengan nada mengejek.

"Malam, Paman Maxiviour! Maafkan aku telah membuatmu menunggu. Sangat tidak mungkin aku mendaratkan sebuah pesawat jet mini di halaman parkir pub ini, kan? Jadi kupikir aku benar-benar punya masalah besar dengan parking area ditambah lagi si tolol Darren yang.. Mmm.. Maaf.. Aku pikir dia benar-benar bukan pilot pesawat jet profesional!"

"Hahaha.. Aku pikir dia berlatih keras musim panas kemarin di California, aku rasa anak itu cukup jenius. Dia cepat belajar. Ini hanya permasalahan waktu. Kau akan terbiasa dengannya." Lelaki itu berkata dengan tersenyum. Kemudian dia melanjutkan dengan wajah serius, "Langsung saja ke pokok permasalahannya. Ehm.. Bagaimana tentang buku itu? Kau sudah mendapatkannya?"

"Belum! Mm.. Ya.. Bodohnya aku! Aku yakin nenek tua tolol itu telah berusaha keras untuk memberikan buku itu kepada pemuda itu. Tapi setelah aku memeriksa ruangan pemuda itu, aku tidak menemukan bukunya.. Huh.. Satu hal yang membuatku benar-benar heran paman, kenapa dia tidak mau memberikan buku itu kepadaku? Aku ini darah dagingnya! Aku berhak mewarisi buku itu!" Abigeill semakin meninggi.

"Hmm.. Aku yakin nenekmu tidak bodoh. Dia tahu kau sama serakahnya dengan ayahmu. Darah Yahudi begitu kental mengalir di tubuhmu.. Hahaha.. Ya.. Kita selalu ingin menguasai semuanya sayang. Karena kita penguasa. Aku bangga padamu. Kau mewarisi sifat kami!" Maxiviour tertawa keras.

"Paman, aku minta kecilkan sedikit suaramu.. Seseorang di arah jam 5 sepertinya memperhatikan pembicaraan kita." Abigeill berbisik dengan gelisah. Keduanya saling menatap seseorang tersebut. Lelaki tua itu kemudian menunduk, berpura-pura menyibukkan diri seolah dia tak mendengar apapun.

"Hanya lelaki tua yang suka ikut campur. Itu yang sangat tidak kusukai dari orang-orang Australia. Mereka sangat suka ikut campur dan mengurus hal-hal yang seharusnya tidak perlu mereka ketahui. Dasar sampah!" Maxiviour berkata dengan sangat jengkel. Abigeill tersenyum. Kemudian kembali dalam topik pembicaraan mereka.

"Ada pertanyaan-pertanyaan yang masih saja terus dalam benakku paman. Mengapa nenek sangat ingin memberi buku itu pada Saudi? Apa hubugannya Saudi dengan catatan Créme Chesee & Choco Macchiato? Dan entah kenapa aku masih sedikit ragu dengan mitos itu.." Abigeill terdiam dalam kebingunnya.

Dengan tenang Maxiviour menjawab, "Tentang pemuda itu... mmm.. ya.. aku tidak mengetahuinya dengan jelas. Tapi percayalah sayang, Créme Chesee & Choco Macchiato adalah nyata di dunia ini.. dan bukanlah mitos. Buku catatan itu yang merupakan bukti keberadaan....


Perth, jam 10 malam.

“Buku?” kataku kepada Marick. Marick melihatku lekat dan terlihat dahinya mengerut, bingung.

“Coba baca! Apa isinya? Mungkin ada sesuatu yang perlu kau tahu.” Marick kembali bersemangat.

Ketika aku membuka sampul tebal berwarna coklat bertinta cetak tebal warna krim buku itu, tiba-tiba seseorang memanggil namaku dari arah yang tidak terlalu jauh.

“Saudi..” teriak Nyonya Ginger Crown dengan nada terbata.

Aku keluar dari flat Marick dan berjalan ke flatku menemui Nyonya Crown. Aku lihat Nyonya Crown masih menyengal, berusaha tetap tenang.

“Ada apa, Nyonya Crown? Anda terlihat panik. Ini sudah jam… hampir setengah sebelas malam. Ada yang dapat saya bantu?”

Terlihat raut tua itu semakin gelisah. Sebelum Nyonya Crown menceritakan hal yang ingin diutarakannya, aku mengambil kunci kamar flatku dan mempersilakan Nyonya Crown masuk. Marick menyusul dari belakang.

Nyonya Crown mulai menceritakan sesuatu yang baru saja ia alami. Ia secara tidak sengaja merasakan kehadiran cucunya Anatolly Abigeill Crown pada saat ia tertidur di atas kursi goyangnya. Walaupun hanya beberapa detik mungkin ia rasakan, namun rasanya sangat menghangatkan kesenduan malam sepinya setelah insiden tadi sore.

Aku dan Marick saling bertemu pandang, kemudian menarik napas pendek. Aku meminta Marick mengambilkan air minum hangat, karena setahuku Marick tidak terlalu suka dengan kehadiran Nyonya Crown. Semoga saja Marick tidak me-macam-macam-kan minuman Nyonya Crown, benakku.

Nyonya Crown masih terlihat menggigil. Entah karena udara dingin di musim gugur ini penyebabnya atau memang ini tanda gelisahnya. Marick datang membawa segelas air putih hangat. Aku tersenyum kecil kepadanya. Marick membalasku dengan raut muka malasnya yang membuatku tertawa kecil.

“Kau ingat Marick apa yang tadi aku tanyakan padamu?”

“Tentang apa?”

“Gadis berbaju putih yang kulihat di kamar Nyonya Crown?”

“Mmm… Ya. Lalu maksudmu… Gadis itu Abigeill yang sudah meningg?”

“Ya.” Dengan tegas aku potong kata terakhir yang akan diucapkan Marick, meninggal.

Aku bertanya kepada Nyonya Crown apa saja yang dirasakannya pada saat itu. Nyonya Crown tidak dapat mengingat semuanya.

Yang ia tahu, Abigeill mengatakan bahwa ia tetap Anatolli Abigeill Crown, cucu kesayangan Nyonya Crown.

“Nyonya, kalau saya boleh tahu, apa ada penyebab selain kanker otak yang akhirnya merenggut nyawanya?”

Wajah Nyonya Crown sudah sedikit cerah. Kemudian Nyonya Crown bercerita. “Abigeill itu jauh dari enam bulan yang lalu sebelum ia meninggal, ia pernah diasingkan dariku karena ayahnya, yaitu menantuku tidak suka dengan sikap menentangnya pada ayahnya. Abigeill tidak suka dengan tradisi Yahudi ayahnya yang sebagian besar sangat merugikan orang lain. Ia ingin agar bisa hidup seperti gadis biasa. Menjahit, memasak, berkebun, dan serupanya sangat sulit ia lakukan karena selalu di bawah pengawasan ayahnya. Entah dengan cara apa Abigeill dapat kabur dari… kalau aku tidak salah nama tempat itu.. Kau tahu Sungai Murray? Di daerah itu yang Abigeill ceritakan.”

“Sungai Murray itu ada di Australia Selatan. Adelaide? Itu tidak begitu jauh dari Perth ini.” Ucap Marick menyela.

“Ya. Kau benar Anak Muda. Tapi mana mungkin aku dapat melihatnya dari tempatku ini dengan usia sesenja aku.”

“Kami paham Nyonya. Saya juga sempat melihatnya, tetapi hanya sebentar karena saya pikir itu kain gorden yang tertiup angin. bentuknya saja yang menyerupai manusia. Mmm... Seingat saya Abigeill pernah tinggal di flat Nyonya. Saya hanya melihatnya sekali. Dan seminggu kemudian Abigeill masuk rumah sakit dan akhirnya meninggal karena upaya menyelamatkan nyawanya gagal.” Sambungku.

“Ya. Begitulah. Cucuku yang cantik..” Air mata Nyonya Ginger Crown mengalir pelan melewati pipinya.

Aku lalu teringat dengan benda yang tadi sempat dititipkan oleh Abigeill, entah dalam mimpi ataupun kenyataan. Sebuah kotak kubus berwarna perunggu bertuliskan “Untuk Nenekku yang Tercantik”. Aku ambil kotak itu dari baju hangat yang kupakai dan kuserahkan kepada Nyonya Crown.

Nyonya Crown membuka kotak tersebut. Isinya berupa selembar daun kering pohon maple, sebuah liontin berbentuk angsa, dan secarik kertas bekas robekan. Aku menyimak setiap gerakan renta yang dilakukan Nyonya Crown. Ia membaca sesuatu di kertas tersebut.


Untuk Nenekku yang Tercantik.

Aku minta maaf karena meninggalkan Nenek di usia Nenek yang semakin sepuh. Penyakitku membuatku sulit sekali untuk melarikan diri dari Adelaide, Nek. Tapi ini usahaku.

Sebelum aku tidak lagi di dunia ini, aku sengaja menyiapkan sekotak kenang-kenangan untuk Nenek. Aku tahu, mungkin Nenek sedang menangis tersedu membaca surat dariku. Tapi tenang, Nek. Aku baik-baik saja. Semoga ini dapat mengobati kesendirian Nenek tanpa aku di samping nenek.

Aku harap Nenek selalu mendapat kebahagiaan.

P.S.
-Jangan suka marah-marah lagi ya…
-Daun maple sebagai tanda bahwa aku benar-benar pernah tinggal di Adelaide.
-Liontin angsa itu pemberian mama. Aku harap Nenek memberikannya kepada gadis yang lebih baik dari aku.


Salam, Anatolly Abigeill Crown



Keasyikan menyimak surat dari Abigeill, tiba-tiba Marick tidak sengaja menjatuhkan buku bersampul coklat yang dipegangnya. Kulihat Nyonya Crown menatap tajam buku itu. Seperti ia tidak asing dengan buku tersebut. Nyonya Crown kemudian meminta buku itu dan membukanya.

Aku dan Marick yang semula ragu lalu meyakinkan diri untuk mendengar cerita Nyonya Crown tentang isi buku tersebut.